Bertema.com – Pembentukan Tim Literasi Sekolah
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 menyatakan perlunya sekolah menyisihkan waktu secara berkala untuk pembiasaan membaca sebagai bagian dari penumbuhan budi pekerti.
Meskipun begitu, banyak referensi menegaskan bahwa program membaca bebas tidak cukup hanya sekadar menyediakan waktu tertentu (misalnya lima belas menit setiap hari) bagi peserta didik untuk membaca.
Agar program membaca bebas dapat berjalan dengan baik, sekolah perlu memastikan bahwa warga sekolah memiliki persepsi
dan pemahaman yang sama tentang prinsip-prinsip kegiatan membaca bebas dan bagaimana cara pelaksanaan dan pengelolaan program.
Di sinilah pentingnya dilakukan pelatihan staf (guru dan tenaga kependidikan) yang akan menjadi Tim Literasi Sekolah (TLS).
Tujuan dari pelatihan staf untuk pembentukan TLS adalah untuk membantu para guru:
1. membuat dan menyepakati petunjuk praktis pelaksanaan program membaca di tingkat sekolah;
2. menjalankan peran mereka sebagai fasilitator yang membantu peserta didik agar terhubung secara emosi dan pikiran dengan buku.
Dalam konteks sekolah, subjek dalam kegiatan literasi adalah semua warga se-kolah, yakni peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan (pustakawan), dan kepala sekolah.
Secara lebih khusus, supaya tugas pokok dan fungsi lebih fokus dan terjaga, kepala sekolah perlu membentuk Tim Literasi Sekolah (TLS) yang dikuatkan dengan Surat Keputusan (SK) atau Surat Tugas (ST).
Semua komponen warga sekolah hendaknya berkolaborasi dengan TLS di bawah koordinasi kepala sekolah.
Dalam ekosistem sekolah, TLS diharapkan mampu memastikan dan mengembangkan terciptanya suasana akademik yang kondusif dan literat yang mampu membuat seluruh anggota komunitas sekolah antusias untuk belajar.
Pembentukan Tim Literasi Sekolah
Langkah-langkah Pelaksanaan Pembentukan TLS di Sekolah
Dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah (GLS), TLS merupakan tulang pung-gung yang perlu terus diper kuat dan dikembangkan.
Berikut ini adalah alternatif langkah-langkah pelaksa naan pembentukan TLS di sekolah.
1. Kepala sekolah mencermati para guru yang diyakini dapat menumbuhkem-bangkan literasi di sekolah, yakni guru bahasa dan guru mata pelajaran lain yang peduli terhadap literasi.
2. Kepala sekolah dengan kewenangannya atau melalui rapat menetapkan TLS yang terdiri atas minimal satu guru bahasa, satu guru mata pelajaran lain, serta satu petugas perpustakaan/tenaga kependidikan.
3. Kepala sekolah menugasi TLS dengan surat keputusan atau surat penugasan resmi (diharapkan ke depan surat keputusan atau surat tugas ini dapat diperhitungkan sebagai tugas tambahan yang dapat dihargai sama dengan jam mengajar).
4. Para personel TLS diberi kesempatan (ditugasi) mengikuti pelatihan-pelatihan atau workshop literasi sebagai wujud pengembangan profesional tentang literasi.
Hal itu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan institusi terkait atau pihak eksternal (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
Bahkan dimungkinkan pula adanya pendampingan dari pihak eksternal.
Struktur Organisasi Tim Literasi Sekolah (TLS)
Struktur Organisasi Tim Literasi Sekolah (TLS) di Sekolah terdiri atas Ketua TLS (guru) dan anggota (minimal ada pengurus perpustakaan/taman baca sekolah dan guru lain).
Posisi TTLS dalam Struktur Organisasi Sekolah setara dengan Tim Adiwiyata sekolah.
Berikut adalah gambaran struktur minimal TLS (anggota bisa lebih banyak lagi).
Tugas Tim Literasi Sekolah (TLS)
Dalam kedudukannya sebagai sebuah tim ada beberapa tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TLS untuk menumbuhkembangkan GLS di tiap sekolah.
Adapun tugas-tugas minimal TLS berdasarkan tahap-tahapnya adalah merencanakan, melaksanakan, melaporkan, dan melakukan asesmen serta mengevaluasi pelak sanaan GLS.
Bila diperlukan, ada pendampingan dari pihak eksternal pada tahap awal.
1. Perencanaan dilakukan untuk tahap pembiasaan dengan menjadwalkan lima belas menit membaca setiap hari
dan berbagai langkah untuk menyukseskan peningkatan minat baca peserta didik (mengubah pola pikir dan menjadikan membaca sebagai suatu kebutuhan).
Dalam hal ini dapat dibuat survei sederhana mengenai minat baca untuk:
a. menjaring tema-tema yang disukai peserta didik; membuat daftar buku yang direkomendasikan berdasarkan hasil survei;
b. merancang pengembangaan perpustakaan dan sudut baca;
c. merancang pengem-bangan jejaring internal dan eksternal;
2. Pelaksanaan dilakukan dengan:
a. mengawal pembiasaan membaca lima belas menit setiap hari;
b. memastikan keberlangsungan program-program GLS;
c. melaksa nakan monitoring dan evaluasi internal;
d. berupaya membangun jejaring dengan pihak eksternal termasuk pelibatan publik dalam menggalang pelaksanaan GLS serta pencitraan GLS dengan berbagai acara;
e. turut serta mengem-bangkan per pustakaan, sudut baca sekolah, dan bekerja sama dengan guru serta peserta didik untuk membangun sudut baca kelas;
Dengan mengupayakan ekosistem sekolah yang literat sebagai berikut:
Lingkungan Fisik
1) Karya peserta didik dipajang di sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
2) Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberi kesempatan yang seimbang kepada semua peserta didik.
3) Buku dan materi bacaan lain tersedia di pojok-pojok baca di semua ruang kelas.
4) Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orang tua/pengunjung di kantor dan ruangan selain ruang kelas.
5) Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.
6) Kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah.
Lingkungan Sosial dan afektif
1) Penghargaan terhadap prestasi peserta didik (akademik dan nonakademik) diberikan secara rutin (tiap minggu/bulan).
Upacara hari Senin merupakan salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.
2) Kepala sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi.
3) Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi, misalnya merayakan Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.
4) Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan tenaga kependidikan, dengan mengakui kepakaran masing-masing.
5) Terdapat waktu yang memadai bagi tenaga kependidikan untuk berkolaborasi dalam menjalankan program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.
6) Tenaga kependidikan sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program literasi.
Lingkungan akademik
1) Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi:
a. membaca dalam hati (sustained silent reading);
b. membacakan buku dengan nyaring (reading aloud) ;
c. membaca bersama (shared reading) ;
d. membaca terpandu (guided reading) ;
e. diskusi buku;
f. bedah buku;
g. presentasi (show-and-tell presentation).
2) Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain.
3) Disepakati waktu berkala membahas pelaksanaan gerakan literasi sekolah yang dimotori oleh TLS.
4) Buku fiksi dan nonfiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah.
Buku cerita fiksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.
Untuk SMP minimal ada 200 judul buku pengayaan dan 20 judul buku referensi di sekolah (perpustakaan sekolah).
5) Ada beberapa buku yang wajib dibaca oleh warga sekolah.
Untuk peserta didik SMP, minimal dua belas buku bacaan nonpelajaran.
6) Ada kesempatan pengembangan profesional tentang literasi yang diberikan untuk staf, melalui kerja sama dengan institusi terkait. (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
7) Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun organisasi sekolah yang suka belajar.
Evaluasi Kegiatan Literasi Sekolah
Asesmen dilakukan tiap minggu untuk kegiatan yang sudah dilaksanakan.
Adapun evaluasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dilaksanakan setiap semester.
Hasil evaluasi akan menentukan apakah sebuah sekolah dapat beralih jenjang dari tahap pembiasaan ke tahap pengembangan atau dari tahap pengembangan ke tahap pembelajaran.
Dalam melaksanakan tugas, TLS sebaiknya berkoordinasi dengan wali kelas, guru bimbingan dan konseling (BK), kepala sekolah dan jajarannya,
serta pihak eksternal (dinas pendidikan, perpustakaan, perguruan tinggi, sekolah lain, orang tua, alumni, jejaring masyarakat).
Koordinasi dengan pihak internal dapat dilakukan setiap minggu atau sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah.
Juga Koordinasi dengan orang tua dapat dilakukan dengan buku penghubung atau pertemuan terjadwal.
Koordinasi eksternal dapat dilakukan secara terjadwal, mengikuti jadwal dinas pendidikan, atau berpartisi pasi dalam berbagai kegiatan.
Sekolah yang telah sampai pada tahap pengembangan atau pembelajaran dapat melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, serta asesmen dan evaluasi sesuai dengan tahap tersebut.
Baca juga:
1. Manual Pendukung Gerakan Literasi Sekolah
2. Strategi Pembelajaran Tahu-Ingin-Pelajari TIP
Demikian informasi Pembentukan Tim Literasi Sekolah, semoga bermanfaat.