Teori Belajar Van Hiele dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Bertema.com – Teori Belajar Van Hiele dan Implikasinya dalam Pembelajaran.

Psikologi belajar atau disebut juga dengan teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman, dkk: 001: 30).

Didalamnya terdapat dua hal, yaitu

1) uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual; dan

2) uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.

Dikenal dua teori belajar, yaitu teori belajar tingkah laku (behaviorism) dan teori belajar kognitif.

Dalam proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara menyampaikannya merupakan syarat yang sangat essensial.

Penguasaan guru terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal.

Selain menguasai materi matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori belajar,

agar dapat mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar, sehingga belajar menjadi bermakna bagi siswa.

Teori Belajar Van Hiele dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Teori Belajar Van Hiele dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.

Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pembelajaran geometri.

Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.

Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi.

a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)

Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic).

Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponenkomponen dari masing-masing bangun.

Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciriciri dari bangun itu.

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegi panjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.

b) Tahap Analisis (Deskriptif)

Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciriciri dari masing-masing bangun.

Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”

c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)

Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun.

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang.

Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun.

Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain.

Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegi panjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang.

d) Tahap Deduksi

Pada tingkat ini:

(1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus,

(2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan

(3) siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal.

Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.

Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan
prinsip kesejajaran.

Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan belum tentu tepat.

Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya.

Jadi, mungkinsaja dapat keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut.

Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.

Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau
problem, dan teorema.

Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk teorema atau dalil?

e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)

Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.

Sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif.

Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri.

Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa
mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem

matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan.

Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah.

Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.

Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam
memahami geometri,

van Hiele juga mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun

yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.

Menurut van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati.

Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.

Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.

Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.

Menurut van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut.

Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.

Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.

Fase-fase pembelajaran tersebut adalah:

1) fase informasi,

2) fase orientasi,

3) fase eksplisitasi,

4) fase orientasi bebas, dan

5) fase integrasi.

Berdasar hasil penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi.

Baca Juga: Teori Belajar dari Thorndike dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Implikasi dari aliran ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:

1) Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil contoh
yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.

2) Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih
cocok untuk penguatan dan hafalan.

Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.

3) Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum merupakan hal
yang penting.

Materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah.

Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar.

Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya.

Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam proses belajar mengajar,

maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori belajar tersebut  sehingga selanjutnya dapat merancang dengan baik bentuk proses
belajar mengajar yang akan dilaksanakan.

Baca Juga: Teori Belajar Pavlov dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Psikologi belajar atau disebut dengan Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa.

Di dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu:

(1) uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi padaintelektual anak,

(2) uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu. 

Demikian informasi Teori Belajar Van Hiele dan Implikasinya dalam Pembelajaran. Semoga bermanfaat. 

Rujukan: Materi Pedagogik Sumber Belajar Penunjang PLPG, Dirjen GTK Kemdikbud.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *